Adat Pernikahan Jawa: Simbol Kesakralan dan Filosofi dalam Setiap Tahapan

Pernikahan adat jawa

Pernikahan adat Jawa bukan sekadar penyatuan dua insan. Tradisi ini memadukan nilai budaya, simbolisme, dan kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun. Tak hanya meriah secara visual, setiap tahapannya mengandung makna mendalam yang mencerminkan harapan akan rumah tangga yang harmonis, penuh cinta, dan diberkahi.

Dengan demikian, prosesi ini menjadi lebih dari sekadar upacara, melainkan sebuah perjalanan spiritual dan sosial yang kaya nilai.


Makna dan Tahapan dalam Adat Pernikahan Jawa

1. Pingitan

Beberapa hari sebelum pernikahan, calon pengantin perempuan menjalani masa pingitan. Selama periode ini, ia tidak diperkenankan keluar rumah kecuali untuk keperluan penting.
Tujuan utamanya adalah menjaga ketenangan jiwa, memancarkan aura positif, dan mempersiapkan diri secara lahir dan batin.


2. Siraman

Prosesi siraman menandai awal penyucian diri secara simbolis. Keluarga menggunakan air bunga dari tujuh sumber mata air untuk menyiramkan secara bergantian kepada calon pengantin.
Sebagai simbol pembersihan, siraman mengandung harapan agar sang mempelai siap menyongsong hidup baru dengan hati yang bersih.


3. Midodareni

Pada malam sebelum pernikahan, keluarga menyelenggarakan midodareni. Nama ini berasal dari kata “widodari” yang berarti bidadari.
Secara simbolik, tradisi ini melambangkan kehadiran para bidadari yang akan memberkahi pengantin wanita agar tampil anggun dan bercahaya.
Di samping itu, midodareni menjadi momen untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan.


4. Ijab dan Akad Nikah

Prosesi ijab kabul berlangsung secara khidmat dan penuh haru. Wali nikah mengucapkan ijab di hadapan penghulu dan saksi, lalu pengantin pria menerima secara sah.
Pada titik ini, pernikahan dianggap sah menurut hukum agama dan negara.


5. Panggih

Setelah akad, kedua mempelai mengikuti upacara panggih sebagai bentuk pertemuan resmi.
Dalam prosesi ini, terdapat serangkaian ritual penuh makna:

  • Balangan Suruh: Kedua mempelai saling melempar sirih sebagai lambang kesiapan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.

  • Wijikan: Pengantin wanita membasuh kaki suaminya sebagai wujud bakti, lalu suami memberikan hadiah sebagai simbol kasih sayang.

  • Kacar-kucur: Pengantin pria menuangkan beras, uang logam, dan bunga sebagai bentuk tanggung jawab menafkahi keluarga.

  • Timbangan dan Dahar Klimah: Kedua mempelai duduk dan makan bersama, melambangkan kesetaraan, kerja sama, dan keharmonisan.


Busana dan Tata Rias Pengantin Jawa

Busana pengantin Jawa tidak hanya mempesona secara estetika, tetapi juga sarat makna filosofis.
Misalnya, gaya Paes Ageng dari Yogyakarta mencerminkan kebangsawanan dan keanggunan, sementara Solo Basahan dari Surakarta menekankan kesederhanaan yang luhur.
Lebih lanjut, sanggul dan paes hitam di dahi menggambarkan kedewasaan, sedangkan rangkaian bunga melati dan keris menjadi simbol kesucian dan tanggung jawab.


Filosofi yang Melekat di Setiap Tahap

Setiap tahapan dalam adat Jawa mengajarkan nilai-nilai penting yang relevan hingga kini:

  • Siraman dan midodareni, misalnya, menekankan pentingnya kesiapan batin dan restu orang tua.

  • Wijikan dan kacar-kucur menegaskan peran masing-masing dalam rumah tangga: suami sebagai pelindung dan pemberi nafkah, istri sebagai penjaga keharmonisan.

  • Sementara itu, dahar klimah menyiratkan kesetaraan dan komitmen untuk berjalan bersama.

Dengan kata lain, adat Jawa tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga mendidik pasangan untuk saling menghargai dan bertanggung jawab.


Penutup

Pernikahan adat Jawa menawarkan lebih dari sekadar kemeriahan pesta. Ia membawa pesan spiritual, sosial, dan moral yang mendalam.
Oleh karena itu, melestarikannya bukan hanya bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga cara untuk membangun rumah tangga yang berakar pada nilai-nilai luhur.

About the Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like these