Seserahan bukan sekadar hadiah dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Tradisi ini mengandung makna simbolis yang mendalam, sekaligus menunjukkan keseriusan dan kesiapan pria untuk memulai kehidupan rumah tangga. Di berbagai daerah Indonesia, seserahan disusun dengan gaya dan nilai budaya yang unik. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas makna seserahan dalam tiga budaya besar: Jawa, Sunda, dan Bali.
1. Adat Jawa: Simbol Kesiapan dan Kesungguhan
Pertama, dalam budaya Jawa, masyarakat mengenal seserahan dengan istilah “paningset”. Pihak pria membawa seserahan sebagai bukti nyata dari niat dan kesiapan untuk menikah. Biasanya, jumlah seserahan dibuat ganjil (5, 7, atau 9), karena angka ganjil dianggap membawa keberuntungan.
Adapun makna filosofis dari isi seserahan adat Jawa antara lain sebagai berikut:
-
Pakaian dan kain batik: Menunjukkan bahwa mempelai wanita siap berganti status menjadi seorang istri.
-
Alat rias dan perlengkapan mandi: Melambangkan pentingnya menjaga kebersihan, baik secara fisik maupun spiritual.
-
Makanan tradisional seperti jenang dan wajik: Menggambarkan harapan agar hubungan pasangan tetap lengket, harmonis, dan manis.
-
Buah-buahan: Melambangkan kesuburan serta harapan akan keluarga yang makmur.
Biasanya, keluarga pria menyusun seserahan dengan rapi dan estetik, lalu membawanya ke rumah mempelai wanita saat prosesi midodareni, yaitu malam sebelum akad nikah.
2. Adat Sunda: Kesucian, Ketulusan, dan Keseimbangan
Selanjutnya, dalam adat Sunda, seserahan dikenal sebagai “serah-serahan” atau “seserenan”. Tradisi ini menekankan kesucian niat dan ketulusan hati dari mempelai pria. Umumnya, penyerahan dilakukan saat lamaran atau menjelang akad nikah.
Berikut adalah makna filosofis dari isi seserahan Sunda:
-
Al-Qur’an atau kitab suci: Simbol bahwa keluarga baru harus dibangun di atas dasar iman.
-
Kebaya atau pakaian wanita: Melambangkan penghargaan terhadap peran wanita sebagai pendamping hidup.
-
Kosmetik dan perlengkapan mandi: Menunjukkan harapan agar mempelai wanita selalu menjaga penampilan dan kebersihan diri.
-
Uang atau perhiasan: Menegaskan komitmen ekonomi dari mempelai pria.
-
Dodol Garut: Mewakili harapan agar hubungan pernikahan manis dan tahan lama.
Sebagai tambahan, keluarga pria biasanya menyampaikan seserahan dengan tutur kata sopan, pantun indah, atau doa-doa penuh makna, yang memperindah suasana.
3. Adat Bali: Keharmonisan Spiritual dan Keseimbangan Alam
Terakhir, kita melihat seserahan dalam adat Bali, yang sangat kental dengan unsur spiritual. Dalam tradisi Bali, pernikahan disebut “pawiwahan”, dan seserahan berbentuk “banten”, yakni persembahan kepada para dewa.
Isi seserahan adat Bali memiliki makna simbolis sebagai berikut:
-
Banten (sesaji) dan canang sari: Menjadi media persembahan kepada Tuhan, sebagai permohonan restu atas pernikahan.
-
Buah-buahan dan jajan tradisional: Melambangkan harapan akan kelimpahan rezeki dan kehidupan yang sejahtera.
-
Pakaian adat Bali: Menandakan kesiapan mempelai menjalani kehidupan berumah tangga sesuai nilai budaya dan tradisi.
-
Perhiasan atau emas: Menjadi lambang komitmen, kekuatan, dan kemakmuran.
Dengan demikian, prosesi seserahan di Bali tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga spiritual. Keluarga menjalankannya sebagai bagian dari filosofi Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, seserahan dalam adat Jawa, Sunda, dan Bali menunjukkan kekayaan nilai budaya yang luar biasa. Meskipun setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, namun tujuannya tetap sama: menyampaikan kesiapan, rasa hormat, dan harapan baik dalam membangun rumah tangga.
Dengan memahami maknanya, calon pengantin dan keluarga tidak hanya menjalankan tradisi, tetapi juga memaknainya sebagai langkah awal menuju kehidupan pernikahan yang harmonis, penuh restu, dan bermakna.